(Unsplash/Papaioannou Kostas) |
Pertama-tama, akan saya jelaskan terlebih dahulu bahwa tulisan ini merupakan hasil dari diskusi beberapa remaja yang mendiami rumah kontrakan di Kota Blitar. Mereka menamai dirinya sebagai Kenari Youth.
Nama Kenari diambil dari nama wilayah tempat kontrakan mereka berada. Kata Kenari juga merupakan burung yang identik dengan kicauannya yang indah. Sedangkan nama Youth merupakan representasi dari diri mereka sendiri yang sebagai pemuda.
Manusia sebagai makhluk sosial
Tidak dapat dipungkiri, manusia merupakan makhluk sosial. Menurut KBBI makhluk sosial memiliki arti manusia yang berhubungan timbal balik dengan manusia lain, artinya tidak ada manusia yang bisa benar-benar hidup sendiri di dunia ini.
Lebih jauh dari itu, bisa juga disimpulkan bahwa secara kebutuhan mendasar manusia harus berserikat atau berkumpul.
Perputaran Energi
Dalam setiap perkumpulan, entah dirasa atau tidak, akan selalu terjadi perputaran energi. Perputaran energi ini maksudnya adalah proses tular-menular energi, lebih sederhananya kita coba membayangkan ketika kita berkumpul dengan kawan sejawat kita.
Terkadang kita berangkat dengan hati dan perasaan yang lelah, namun ketika sudah berkumpul dan ada dari kawan kita yang memiliki energi positif berlebih, kita akan langsung terbawa dan tertular energi positif tersebut.
Pembuka Perspektif
Entah disepakati atau tidak, berkumpul dan berbincang antara satu manusia dengan manusia lain akan menghasilkan pemahaman atau perluasan perspektif bagi manusia itu sendiri.
Yang awalnya ia meyakini yang paling benar adalah A misalnya, setelah berdiskusi atau berbincang kemudian ia juga memahami bahwa B juga benar. Bisa jadi C juga bukan pilihan yang salah kaprah. Ia menjadi memahami segala sesuatu secara kontekstual dan luas.
Identitas Bangsa
Disadari ataupun tidak, bangsa Indonesia memiliki identitas ‘gotong-royong’. Hal ini dapat kita temui dalam setiap tradisi leluhur masyarakat Indonesia itu sendiri. Dalam tradisi masyarakat jawa misalnya, kita memiliki tradisi ‘soyo’ yang berarti gotong-royong untuk menaikkan atau menurunkan genting di suatu rumah.
Contoh lain adalah saat pernikahan, masyarakat Jawa meyakini bila saat membuat ‘jenang’ si tuan rumah tidak meminta tolong, jenang tersebut akan lama matangnya atau rasanya tidak enak. Maka perlu orang lain yang disebut ‘rewang’.