Demi Nama Baik Kampus: Film Pendek tentang Kekerasan Seksual (Unsplash.com) |
“Kalau kamu baik sama saya, saya akan lebih baik lagi sama kamu.”
Sekilas, penggalan ungkapan tersebut memang terlihat biasa saja. Namun, bayangkan jika itu dilayangkan oleh dosen laki-laki kepada mahasiswa perempuannya tepat di samping telinga sang mahasiswa di ruang tertutup saat bimbingan skripsi, bayangkan.
Bayangkan, bila kamu berada dalam posisi mahasiswa tersebut. Apa yang akan kamu lakukan? Berlari? Berteriak? Atau diam dan menggigil karena ketakutan? Karena mungkin saja tubuhmu menjadi kaku karena rasa takut yang memburu.
Untungnya, Sinta, tokoh utama dalam film pendek tersebut dapat lari dari jerat dosen ‘bajingan’ yang hendak merenggut tubuhnya tersebut. Meskipun, sebenarnya tidak ada kata ‘untung’ teruntuk korban Kekerasan Seksual. Sebab tindak Kekerasan Seksual akan selalu meninggalkan trauma yang mendalam pada setiap korban.
Berikutnya, apa saja yang kita dapat dari film “Demi Nama Baik Kampus.” Garapan Pusat Pengembangan Karakter Kemendikbudristek yang dipublikasikan akhir tahun 2021 silam?
Tentu sangat banyak sekali, film dengan durasi 32 menit 15 detik itu akan membawa penonton untuk merasakan penderitaan psikis yang dirasakan oleh penyintas kekerasan seksual (korban). Bagaimana mereka menutup diri, seperti apa ketakutan yang dialami mereka hingga memiliki pikiran untuk mengakhiri hidup, serta jalan panjang penyintas untuk kembali bangkit dan melapor, yang tentu saja memerlukan keberanian yang tinggi.
Misalnya dari pihak kampus tempat Sinta belajar, alih-alih mengusut tuntas kekerasan seksual yang dialami mahasiswinya, jajaran rektorat malah cenderung memikirkan nama baik kampusnya. Bukankah jika kasus ini meledak, akan mencoreng nama baik kampus? Terlebih lagi bila dosen tersebut memiliki relasi kuasa yang tinggi atau akrab dengan jajaran rektorat, bukankah melayangkan surat damai adalah keputusan yang tepat untuk menyelamatkan citra kampus?
Selanjutnya, dari lingkungan penyintas sendiri. Seringkali, dukungan juga enggan diterima oleh penyintas. Dalam film tersebut, Sinta, yang notabene adalah korban, justru difitnah berbalik menjadi pelaku oleh lingkungan kampus. Ia dituduh menggoda Arie Santoso, si dosen cabul. Bahkan, oleh lingkungannya, Sinta dianggap mengancam Arie jika tidak memberikan nilai yang sempurna.
Korban bisa berbalik menjadi pelaku? Damn! Mungkin inilah yang menyebabkan korban untuk enggan melapor. Posisi mereka lemah, belum ada tempat melapor, apalagi jika si pelaku adalah dosen yang dianggap baik atau memiliki power berlebih. Sungguh, kalah mental.
Sebagai film edukasi, saya rasa film ini sangat wajib dipertontonkan kepada seluruh mahasiswa, terlebih lagi menjadi agenda tahunan saat masa ospek berlangsung. Tujuannya, agar kesadaran pencegahan dan pendampingan kasus kekerasan seksual di kampus terus meningkat.
Melalui film ini, kita juga belajar mengenai support sistem yang sebaiknya. Apa yang harus kita lakukan, dan bagaimana kampus bersikap. Serta dari sisi korban, kita dapat belajar tentang keberanian dari tokoh utama untuk mengungkapkan tindak kekerasan seksual yang dialaminya.
Sebagai penutup, mari kita apresiasi bersama keberanian Kemendikbudristek yang mengangkat tema “Kekerasan Seksual di Lingkungan Kampus”. Sebab, sudah cukup lama tindak kekerasan seksual di kampus ini hanya berakhir menjadi buah bibir semata, atau dengan penanganannya yang terkesan amburadul.
“Nama baik kampus bukan dilihat dari banyaknya prestasi yang diraih, tapi ditentukan dari caranya menangani kasus dan membantu korban kekerasan seksual,” tegas Kemendikbudristek di akhir film.
Penulis: Reyda Hafis A.