Masjid. (unsplash/Muhammad Thoha Ma'ruf) |
Dia mempersoalkan masalah habib di Nusantara, yang menurutnya, sudah terputus nasabnya.
Sebelum saya menulis lebih lanjut, saya akan mencoba mengulas sejarah habib yang ada di Bumi Nusantara.
Habib secara etimologi adalah yang terkasih, sedangkan secara epistemologi adalah gelar yang ditujukan kepada keturunan baginda Rasulullah SAW.
Kembali ke sejarah bagaimana para keturunan nabi bisa bermukim di Nusantara ini?
Dikutip dari buku Rekam Jejak Oknum Ba'alawi Indonesia hingga Konflik dengan Al-Irsyad hingga Wali Songo karya M. Fadhil, habib di Indonesia datang sekitar tahun 1800-an dengan tujuan bekerja menjadi bawahan Belanda, karena nilai mata uang Hindia Belanda lebih besar dari pada mata uang Yaman.
Akan tetapi, mufti mereka di Yaman memerintakan agar setelah bekerja untuk kembali ke tanah leluhurnya. Namun sayangnya, mereka tidak memghiraukannya dan tetap menetap di Hindia Belanda.
Pada akhirnya para migran Yaman mendirikan organisasi yang bernama Robithah A'alawiyah yang entah siapa yang mendirikan pada waktu itu sedikit mengulas tentang sejarah habib dan Robithah A'lawiyah.
Lantas benarkah mereka benar keturunan rasullah SAW? Menurut Kiai Imaduddin mereka secara ilmiyah terputus nasabnya beberapa metode memvalidasi nasab dengan dua cara, yang pertama locking down dan locking up.
Locking up berarti meneliti dari nama pertama sampai ke Rasullulah SAW. Locking down adalah dengan meneliti mulai dari Rasullah SAW sampai ke bawah.
Dalam buku yang ditulis Imaduddin yang mengutip dari kitab yang dikarang pada abad kelima, yaitu Tahdzibul Ansab wa Nihayatul Anqob, kitab abad keenam syarah Al-Mubarakah sampai kitab yang dikarang pada abad kesembilan hijriyah (H), tidak disebutkan nama Ubaidillah bin Isa tentang cikal bakal habib yang ada di indonesia. Namun, hanya menyebutkan Abdullah bin Isa.
Akan tetapi nama Ubaidillah bin Isa disebutkan oleh Habib Ali bin Sakran dengan alasan bahwa Ubaidillah dan Abdullah itu sama hanya beliau itu di tasghir karena tawadhu'.
Pada kitab suluk pun tidak pernah di sebutan nama Ubadillah yang ada pada abad kedelapan hijriyah. Sebagian juga mengatakan pada kitab Al-Jundi, nama Ubaillah disebutkan.
Menurut Kiai Imaduddin jika memang disebutkan dalam kitab Al-Jundi, tetap terputus 385 tahun semenjak wafatnya Ahmad bin Isa 345 hiriyah, sampai wafatnya Al-Jundi sekitar 700 hijiyah.
Apalagi Kiai Imaduddin menemukan Abdullah bukan Ubaidillah, menurutnya ini adalah orang yang berbeda.
Dengan demikan dari beberapa buku yang saya kutip, bukan bermaksud merendahkan habib, saya hanya ingin mengungkapkan keresahan dengan fenomena ini.
Keresahan ini lantaran banyak orang jahat yang berselimut dengan agama, kiai, gus bahkan habib untuk pembenaran. Setiap kejahatan mempunyai alasan untuk pembenaran.
Dikutip dari Albert Camus, setiap kejahatan pasti punya filsafatnya sendiri.
Demikian tulisan ini ditulis, banyak kekurangan dan juga banyak kekhilafan yang mungkin tidak saya sadari maka dengan itu saya mohon maaf sekian wallahul 'alam.
Tags
Opini