Makam Pangeran Songsong Buwana yang terdapat Batu Bata Kuno yang berserakan. (foto: Galy Hardita) |
Hingga kini nama Lodoyo masih melekat digunakan dalam rujukan bagi penduduk Blitar yang berada di daerah selatan Brantas.
Daerah Lodoyo kini menjadi Kecamatan Sutojayan. Wilayah itu merupakan daerah yang dibatasi oleh beberapa bukit yang menjulang di daerah sekitarnya.
Sebelah timur berbatasan dengan Hutan Kaulon yang terletak di barat Kecamatan Binangun, sebelah selatan dibatasi oleh Samudera Hindia .
Sedangkan sebelah barat berbatasan dengan Gunung Betet yang terletak di timur Kecamatan Kademangan, sedangkan batas Utara adalah Sungai Brantas.
Penemuan Arca Katak
Di Lodoyo pernah ditemukan Arca Katak yang memuat angka tahun Saka 1213 atau 1291 Masehi. (Knebel, 1908: 34). Selain itu pernah ditemukan pecahan fragmen Arca Ganesha dan Yoni (Arnawa, 1991: 37-38).
Dalam Serat Centini dikisahkan tentang perjalanan Raden Jayengresmi beserta kedua santrinya yaitu si Gatak dan si Gatuk setelah lari dari Kedaton Giri menuju ke bekas istana Majapahit.
Kemudian mereka ke Candi Panataran, meninggalkan tempat tersebut tiba di Dukuh Gaprang melihat arca laki-laki dan perempuan. Selanjutnya melakukan perjalanan ke Lodaya yang terdapat Gong yang bernama Kyai Pradah (Suhatmaka, 1981: 15).
Di Desa Gaprang hingga sekarang terdapat sebuah situs yang di antaranya terdapat arca yang memegang pallus dan tinggalan lainnya.
Sedangkan Gong Kyai Pradah yang terletak di Lodoyo sampai sekarang tetap dipergunakan sebagai upacara ritual menjelang awal bulan Maulud atau Rabiul Awal yang disebut Siraman Gong Kyai Pradah. Gong tersebut masih disimpan di utara alun-alun Lodoyo (Bintoro, e.a., 2002: 73-74).
Menurut cerita rakyat, Raja Hayam Wuruk, mempunyai paman bernama Raden Condromowo (Condrogeni) yang berkedudukan di Ngatas Angin saudara dari Kerajaan Bantar Angin Lodoyo bernama Prabu Klono Djatikusumo.
Raja-raja ini ditugaskan oleh Hayam Wuruk untuk membuat kompleks percandian di Ngetos (Harimintadji e.a. 1994: 137-138).
Tetu, memilik arti papan yang biasanya merupakan bagian dari bale (atap) atau bisa juga berarti kereta perang (Zoetmulder, 1995: 1245). Nama Tetu dalam uraian Kakawin Nagarakrtagama sampai sekarang belum teridentifikasi.
Boleh jadi sekarang Tetu sekarang terletak di sebelah barat perempatan pasar Lodaya, atau Alun-Alun Lodaya yang sekarang disebut Gunung Betet di Desa Kembangarum, Kecamatan Sutojayan.
Kemungkinan namaTetu (“tet-u”) kini berubah menjadi “Be-tet”. Jika benar Tetu yang dimaksud adalah Gunung Betet sekarang, maka dahulu puncak ini adalah tempat Raja Hayam Wuruk menikmati pemandangan.
Di atas rangkaian puncak gunung Betet, terdapat makam Islam kuno yang disebut sebagai makam Pangeran Songsong Buwana. Di makam tersebut hingga kini masih terdapat tinggalan berupa batu bata besar dan sejumlah umpak (tiang) yang dihiasi dengan antefiks (hiasan pada candi atau simbar).
Sama halnya dengan Tetu, nama Sediman hingga kini letaknya belum teridentifikasi. Namun dari namanya, ada beberapa orang percaya Sediman sekarang berubah menjadi Kademangan di Desa Darungan, Kecamatan Kademangan.
Pada tahun 2006 di Desa Darungan, tepatnya di Dusun Besole, telah ditemukan Gapura Bentar Besole. Bangunan utamanya berupa tangga masuk berbahan dasar batu bata merah yang berada kurang lebih 2 meter di bawah tanah.
Gapura Bentar kemungkinan dibangun pada masa Kerajaan Kadiri dan tetap dimanfaatkan hingga masa Kerajaan Majapahit.
Selain itu, Di area persawahan Dusun Besole ditemukan sebuah prasasti bertarikh tahun 1054 Saka, pada masa pemerintahan Bameswara yang memiliki pahatan candra kapala lancana, juga tumpukan batu bata kuno dengan keadaan utuh yang berserakan disekitar sawah. (Suhadi, e.a, 1996: 24).
Kemungkinan, gapura ini dulunya merupakan tepat pelabuhan sungai, dan area persawahan bisa jadi merupakan tempat pemukiman penduduk di sebelah selatan sungai Brantas.
Dari hal ini, bisa diketahui bahwa perjalanan Hayam Wuruk adalah menyeberangi sungai hingga tiba di Sedimen (Besole), selanjutnya menuju ke Tetu (Betet) dan sampai ke Lodoyo.
sumber: - warisan budaya Kemendikbud
- tatkalam.blogspot.com, Fery Riyandika