Kantor Desa Slorok. (foto: prajapos) |
Desa Slorok terkenal karena cerita Mbah Martoyudo yang dilambangkan dengan macan.
Masyarakat sekitar meyakini bahwa Mbah Martoyudo adalah seorang pembabad Desa Slorok.
Selain itu, orang tersebut juga merupakan pertama yang menempati Desa Slorok. Oleh karenanya, makam Mbah Martoyudo sangat dihormati.
Awal mulanya pembabadan desa-desa di wilayah Kabupaten Blitar berasal dari masa pemerintahan Majapahit. Ini dibuktikan dengan adanya berbagai prasasti yang memuat beberapa nama desa.
Di mana nama desa tersebut saat ini masuk dalam wilayah Kabupaten Blitar. Bagimanapun juga, ini membuktikan bahwa pada masa kejayaan Majapahit, Blitar dulunya merupakan tempat yang strategis dan dianggap penting.
Versi yang lain
Hal tersebut tentu hampir bertolak belakang dengan cerita Mbah Sukandar selaku juru kunci makam Mbah Martoyudo.
Menurutnya, cerita mengenai babad desa Slorok diyakini berawal dari tahun 1800-an. Ketika itu wilayah Kabupaten Blitar di bagian Kecamatan Garum masih berupa hutan.
Kemudian tiga orang laki-laki keturunan kerajaan Mataram (narasumber menyebutnya mentaram) datang ke daerah Kecamatan Garum. Tiga laki-laki ini yaitu Mbah Martoyudo, Mbah Raden dan Mbah Gadung Melati.
Ketiga laki-laki bersaudara tersebut memiliki wilayah babadan masing-masing. Nantinya wilayah babadan akan dijadikan sebagai tempat tinggal bagi mereka.
Wilayah babadan ini antara lain Desa Slorok, Desa Klepon, dan Desa Tawangrejo.
Desa Slorok menjadi wilayah babadan Mbah Martoyudo.
Desa Klepon menjadi wilayah Mbah Raden.
Desa Tawangrejo menjadi wilayah Mbah Gadung Melati.
Di wilayah Desa Slorok, selain membabad hutan untuk dijadikan desa, Mbah Martoyudo diyakini sebagai pendiri rumah pertama.
Lambat laun banyak penduduk berdatangan untuk tinggal di wilayah tersebut.
Awal mula nama desa
Menurut cerita juru kunci, Mbah Martoyudo diyakini meminta para penduduk untuk memelihara kerbau. Ada suatu masa ketika kerbau-kerbau penduduk nantinya dijadikan satu.
Setelah itu, Mbah Martoyudo membuat sebuah kandang kerbau yang luas dan besar. Tujuannya untuk menampung kerbau penduduk.
Pintu kandang tersebut terbuat dari pilar-pilar bambu. Kemudian ditata dengan rapi hingga membentuk pintu yang sangat besar.
Pintu kandang dibentuk menyerupai pintu pagar. Untuk membuka pintu kandang kerbau dengan cara digeser. Orang Jawa biasa menyebutnya lawang slorokan. Inilah cikal bakal nama Desa Slorok.
Berdasarkan kisah Mbah Sukandar, Mbah Martoyudo meninggal ketika sedang melakukan perluasan wilayah.
Tidak ada kisah yang sangat meyakinkan bagaimana beliau meninggal, yang pasti dalam upayanya memperluas wilayah hunian untuk masyarakatnya tiba-tiba beliau meninggal dunia.
Hingga saat ini, makam Mbah Martoyudo ditetapkan sebagai danyangan di desa tersebut.
Kepercayaan masyarakat
Dalam kepercayaan masyarakat Desa Slorok, sesekali hadir macan adikodrati yang muncul di lokasi tersebut. Masyarakat sekitar pun tetap meyakini bahwa Mbah Martoyudo masih ada hingga saat ini.
Hal ini karena masyarakat Desa Slorok masih sering menjumpai macan tersebut. Tepatnya di sekitar area danyangan ketika malam hari.
Dari pernyataan Mbah Sukandar, macan tersebut diyakini selalu berkeliling desa, sebagai simbol bahwa desa tersebut tetap terjaga.
Awalnya, danyangan itu hanya berbentuk makam biasa. Kemudian pada tanggal 28 November 2008, makam beliau dibangun dengan bentuk rumah kecil oleh juru kunci.
Makam Mbah Martoyudo berada di dalam rumah danyangan tersebut. Renovasi Ini dimaksudkan agar makam beliau tetap terjaga.
Masyarakat Desa Slorok sering berziarah ke makam danyangan. Ketika berziarah, mereka tak pernah lupa untuk membawa kembang setaman. Maksud ziarah adalah dalam rangka mendoakan Mbah Martoyudo.
Hal itu dibuktikan dengan adanya buku yasin di samping makam. Ini sebagai rasa terima kasih karena jasa beliau yang telah membangun Desa Slorok.
Selain itu, terkadang rumah danyangan juga digunakan untuk shalat, sebab rumah danyangan dianggap sebagai tempat suci.
Budaya saat masuk rumah danyangan
Ketika akan masuk ke dalam rumah danyangan, haruslah salam terlebih dahulu. Terdapat dua cara salam, yaitu dengan membaca basmallah atau dengan bahasa Jawa.
Jika menggunakan bahasa Jawa, biasanya dengan berkata “Nyai Danyang, Kaki Danyang kang ngrekso lan nguasani deso Slorok, aku anak putumu…. (nama peziarah)”.
Bila diartikan dalam bahasa Indonesia kurang lebih artinya, “Danyang perempuan, Danyang laki-laki yang merawat dan menguasai Desa Slorok, saya anak cucumu… (nama peziarah)”.
Ketika berziarah ini pun juga terdapat pantangan, antara lain tidak boleh mengotori makam maupun rumah danyangan, tidak berkata kotor, tidak berniat buruk, dan menjaga tingkah laku.
Hal itu berguna untuk melatih dan menjaga etika dalam menghormati suatu tempat yang dihormati oleh masyarakat. Selain itu juga peziarah tidak melakukan hal yang tidak elok.
Terlepas dari itu, dalam perayaan desa atau karnaval desa yang diadakan setiap tahun, masyarakat Desa Slorok selalu membuat patung berbentuk macan.
Patung diarak keliling desa sebagai simbol untuk menghormati Mbah Martoyudo sebagai pembabad desa.
sumber: Venella Yayank Hera Anggia (Institute for Javanese Islam Research)
Tags
Sejarah